Rabu, 17 Juni 2009

Imajinasi Planner Untuk Si-bawah

Masalah perumahan rakyat adalah masalah yang lebih konkrit dan merupakan "entry point" dari permasalahan wilayah, khususnya wilayah perkotaan. Tentang “perumahan adalah masalah lebih konkrit” dibanding masalah “ruang” atau “penataan ruang”

Dari kebutuhan 16 juta unit perumahan (bagi 80 juta penduduk miskin perkotaan) kita tahu, Selain tidak mampu beli, tidak mampu mengangsur. Banyak dari simiskin kota ini juga bahkan tidak memiliki pekerjaan atau penghasilan yang cukup sekedar untuk makan, mengurus kesehatan dan pendidikan anak-anaknya.

Menghadapi masalah perumahan para arsitek barangkali cukup hanya memikirkan hal-hal sebagai berikut:
(1) model rumah murah.
(2) model pembiayaan pembangunan rumah.
(3) Pengadan bahan material yang pas dan tidak berlebih (ekonomisasi)
(4) pengadaan lahan murah… Dst.
Tanpa perlu menyinggung sedikitpun tentang sumber penghasilan atau pekerjaan rakyat miskin calon penghuni rumah.

Industrialis properti mungkin lebih berpikir tentang kredit bank. Kredit, kredit dan kredit. Lalu ekonomisasi pembebasan lahan. Lalu ekonomisasi bahan bangunan, dan nyaris tidak peduli dengan redistribusi sistem kota, redistribusi penduduk kota dan redistribusi lokasi perumahan kota yang dapat mengurangi kesenjangan wilayah dan tentu menjadi lebih adil bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tapi bagi Planner mungkin tak terlampau peduli dengan model desain rumah murah. Tapi planner bahkan bisa berpikir tentang cara pembiayaan rumah tumbuh dan cara pembiayaan rumah swadaya atau swadana seperti misalnya berupa pengadaan kapling tanpa komersialisasi nilai tambah harga tanahnya (misalnya bersama LSM/ koperasi karyawan perusahaan dll). Bangunan inti yang lebih ‘minimalis atau lebih ekonomis lagi. Memproyeksikan mutu konstruksi rumah yang layak bila perlu dirampungkan ‘pelan-pelan’ oleh 2 generasi penghuninya.

Kemudian bagi planner yang wise dan berpikir nasionalistik yang berpola pikir tentang trilogi pembangunan. Pekerjaan rumah-kota (sebagai tapak rumah dan tapak lokasi pekerjaan) Planner nasionalistik akan lebih berpikir holistik tentang hal – hal sebagai berikut:

1. kebutuhan backlog 16 juta unit rumah murah bagi simiskin kota plus 800 ribu unit pertahun akibat angka kelahiran itu. Pastilah tidak mungkin kalau tidak menyertakan cara berpikir tentang “sistem (distribusi) kota secara nasional”. Sebab tak mungkin distribusi dari backlog 16 juta unit rumah murah plus 800 ribu unit per tahun itu samasekali tak akan dipadukan dengan strategi redistribusi fasilitas industri manufaktur memimpin yang pemusatannya di Jawa pasti menumbuhkan dampak pemusatan lokasi perumahan juga serta dampak negatif lainnya (lalu apalagi kaitannya kalau bukan dengan pembangunan wilayah?). Lalu apakah 16 juta unit perumahan itu juga sebagian terbesarnya akan dibiarkan saja dibangun di Jawa yang hanya 6.7% luas wilayah nasional? yang kini terseok-seok dengan masalah beban ekologi. Juga Jakarta terseok-seok dengan masalah kemacetan dsb.

2. Planner yang nasionalistik akan berpikir tentang “kebutuhan perumahan rakyat miskin kota” sekaligus “kesempatan kerja rakyat miskin kota”. Karena simiskin kota itu bukan sekedar “tak punya rumah dikota” namun juga sangat banyak diantaranya “tak punya pekerjaan atau penghasilan yg layak” untuk melangsungkan hidup berbangsa dan bernegara yang layak pula, ini juga akan aneh kalau tidak dikaitkan dengan peran sakti dari national leading industries yang pembukaan cabang kecil filialnya diluar Jawa sangat dimungkinkan yang akan berdampak ganda pertumbuhan wilayah, migrasi dan tentu saja redistribusi konsentrasi perumahan rakyat secara nasional.

3. Planner yang jeli pasti akan melihat pula potensi dari katakanlah separuh saja dari 60.000 desa di seluruh Indonesia. Dimana “pusat desa” sebagai rural service center (‘subkota pusat desa’) pada dasarnya dapat dikembangkan dengan penataan ulang secara swadaya dan swadana seperti berupa kompleks rukodesa dsb. Yang itu bahkan bisa dibuat cukup berlantai tanah beratap ilalang dan berdinding bambu yang bila pada tiap pusat layanan desa dapat dikembangan swadaya swadana kompleks ruko desa sampai 25 unit, lalu berikutnya akan ‘pindah mendekat’ juga kepusat desa. Rumah yang semula diladang katakan sampai sebanyak 25 unit maka ‘sumbangan awal’ perumahan rakyat swadaya atau swadana di (sub kota) pusat-pusat desa yang dapat dibuat tanpa harus banyak melalui lembaga keuangan adalah katakanlah 30.000 (separuh dari 60.000) x 50 unit = 1.500.000 unit rumah desa swadaya atau swadana dipusat desa sebagai sistem terendah dari hirarki perkotaan nasional kita.

Singkat kata seyogyanya para pemangku kekuasaan perlu sedikit mengubah paradigma perumahan rakyat bukan “sektor perumahan rakyat yang berkembang sendiri” tapi dengan mengaitkan “perumahan” dgn “sistem kota secara nasional” berkait dengan strategi migrasi nasional, berkait pula dengan strategi redistribusi industri manufaktur yang memimpin sebagai pendoorong terciptanya dampak ganda (multiplayer effect) kegiatan-kegiatan lain didaerah. Sehingga kebijakan distribusi “perumahan rakyat” juga berperan serta pula, selain pada multisektor pembangunan yang luas, namun juga berdimensi “pemerataan nasional secara geografik” pula.

--Matur nuwun--

1 komentar: